Sabtu, 17 Januari 2009

Politik Islam

PERAN NEGARA DALAM MEMELIHARA AKIDAH UMMAT
(Oleh Abu Fillah Rabbani)

Akidah Islam merupakan perkara paling vital bagi kaum Muslim. Sayangnya, dalam negara yang mendasarkan ideologinya Pancasila seperti di Republik Indonesia justru akidah Islam ini diabaikan walau umat Islam mayoritas, terbukti banyaknya aliran atau faham yang menyimpang dari akidah Islam masih bebas dan keberadaannya dilindungi. Negara baru akan turut campur kalau dirasa hal tersebut meresahkan warga dan dapat merongrong kedaulatan negara.

Berbeda dengan itu, Islam telah menggariskan pemimpin sebagai penggembala yang mengurusi rakyatnya. “Dan imam yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya”, sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lebih dari itu, kepala negara (khalifah/imam) berfungsi sebagai benteng bagi rakyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan: ”Sesungguhnya imam/ khalifah itu adalah benteng. (Umat) berperang di belakangnya, dan dilindungi olehnya. Apabila ia memerintahkan takwa kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil maka baginya pahala, sebaliknya apabila ia memerintahkan selainnya maka (celaka) atasnya” (HR. Muslim).

Salah satu fungsi Negara dalam Islam sebagai benteng adalah menjaga dan memelihara akidah umat dari berbagai penyimpangan dan kesyirikan, serta mengokohkannya. Karena itu setiap faham atau aliran yang menyimpang dari akidah Islam, Negara wajib membasmi dan menindak tegas terhadap orang yang menyebarkannya. Banyak peran yang dapat dilakukan kepala Negara (imam) dalam rangka menjaga akidah umat Islam, diantaranya ;

Pertama, pendidikan. Sistem pendidikan didasarkan kepada Islam. Pela-aran keislaman terkait akidah, syariah (termasuk akhlak), dan sejarah Islam diberikan sejak dini, bukan hanya di rumah melainkan juga di sekolah. Metode pendidikannya pun dilandasi oleh dasar keimanan dan disampaikan dengan metode pemikiran (fikriyah) sehingga para pembelajar benar-benar paham. Arah pendidikan ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam dan menguasai sain dan teknologi.

Untuk mewujudkan kepribadian Islam ditanamkan akidah Islam, cara berpikir Islam ('aqliyah islamiyah) dan sikap jiwa Islam (nafsiyah islamiyah) yang akan melahirkan perilaku islami. Sementara, untuk menguasai sain dan teknologi diberikan sesuai kebutuhan dengan tetap didasarkan pada akidah Islam. Jadi, perlu perombakan sistem pendidikan menjadi sistem pendi-dikan Islam.

Kedua, penerapan aturan-aturan (undang-undang) Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Shohih. Melalui penerapan peraturan Islam dalam perundang-undangan sadar atau tidak sadar berarti sedang terjadi proses penyatuan akidah dengan syariah.

Ketaatan kepada syari’at Islam akan mengokohkan akidah Islam, dan penanaman akidah Islam akan semakin membuat orang mentaati syari’at Islam. Namun, bila perekonomian didasarkan pada kapitalisme dengan sistem ribawinya, kebudayaan dilandaskan pada liberalisme, beragama bersifat sinkretisme (campuran / tidak totalitas), dan lain-lain berarti sedang terjadi penggerusan akidah umat. Sejarah mencatat sepanjang masa kekhalifahan Islam diterapkan, akidah umat pun tetap terpelihara.

Ketiga, tinggalkan paham-paham yang merusak akidah ummat. Misalnya, hak asasi manusia (HAM). Sebab, HAM yang berasal dari Barat itu berarti bebas untuk apapun, termasuk menghina agama, memutarbalikkan agama, menghancurkan akidah, memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mem-biarkan umat Islam untuk berpindah agama atau tidak beragama sama sekali, dll.

Tengoklah, para pembela aliran Lia Eden, Moshadeq, Ahmadiyah, semuanya atas nama HAM. Apalagi, Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seringkali menggunakan isu kebebasan beragama dalam HAM untuk menekan negeri Muslim agar tidak menjaga akidah umat Islam.

Keempat, pembinaan umat. Pembinaan ini dilakukan dengan pengaturan televisi, misalnya. Hal-hal yang merusak akidah harus dilarang ditayangkan. Juga, negara mendukung setiap upaya pembinaan umat. Gerakan dakwah Islam harus didukung dan dilindungi. Sikap konsisten terhadap akidah dan syariah harus dibela, bukan malah dicurigai dan dituduh dengan teroris atau Islam fundamentalis.

Kedudukan mereka (Gerakan dakwah) yang membina umat dengan Islam dipandang sebagai pengamalan ayat: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran:104).

Kelima, melarang murtad serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepangkuan Islam. Orang dikatakan murtad bila ia keluar dari akidah Islam secara qath'iy, misalnya keluar dari rukun iman, rukun Islam, tidak mengimani al-Quran, inkar sunnah, mengaku sebagai Nabi/Rasul setelah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dll. “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keka-firan, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqa-rah:217).

Orang yang murtad harus diminta bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam. Bila tidak, sanksinya adalah hukuman mati. Kata Nabi, “man baddala dinahu faqtuluhu”, barangsiapa meng-ganti agamanya (murtad) maka bunuh-lah. Dan orang yang mengaku Nabi termasuk murtad.

Terhadap kasus seperti ini penguasa Islam bersikap tegas. Sebagai contoh, pada masa kekhalifahan Abu Bakar para sahabat memerangi Musailamah al-Kadzdzab, nabi-nabi palsu, kaum murtad, dan para penolak zakat. Panglima perang yang ditunjuk oleh khalifah Abu Bakar untuk memerangi Musailamah al-Kadzab adalah Khalid bin Walid [lihat al-Hafidz al-Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa', hal. 55-59].

Keenam, mencegah adanya upaya pemurtadan, termasuk kristenisasi atau westernisasi dalam keyakinan. Jangan sampai dengan alasan membela minoritas, akidah rakyat mayoritas tergadaikan.

Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam sesuai firman Allah, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“ (QS al-Baqarah: 256).

Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin akidah dan ajaran agamanya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun.

Ketujuh, mewaspadai pihak asing. Asing ingin menguasai negeri-negeri Muslim. Salah satu caranya adalah menjauhkan umat Islam dari Islam melalui dimasukkannya ide-ide yang justru menjungkirbalikkan akidah dan syariat Islam.

Pengamat A.C Manullang menyatakan bahwa kelahiran al-Qiyadah yang pemimpinnya mengaku Nabi/Rasul baru-baru ini tidak lepas dari aksi intelijen Israel, Mossad. George Tenet, mantan Direktur CIA, memberikan pengakuan dalam buku The CIA at War bahwa memang ada upaya untuk memunculkan 'tokoh-tokoh' Islam yang justru menikam Islam.

Penguasa Islam harus memandang negara asing imperialis dengan waspada. Karenanya, dalam mensikapi negara asing, Islam menetapkan istilah kafir harbi hukman dan kafir harbi fi'lan yang keduanya disikapi dengan waspada. (Wallahu A'lam).

Intelijen Dalam al-Qur'an (2)


NABI YUSUF AS : SENI BERJUANG DI KANDANG LAWAN

( Bagian Kedua )


Timbul perbincangan mengenai nabi Yusuf AS ini, terutama jabatan yang dipegangnya. Apakahdia memegang posisi tadi dalam struktur pemerintahan Darul Kuffar, atau semasa Mesir di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah ? Kejelasan ini diperlukan sebab kasus Nabi Yusuf merupakan presedens/sunnah yang amat menentukan bagi pemetaan strategi perjuangan Islam berikutnya. Jika Mesir ketika itu adalah sebuah Daulah Islamiyah, maka hadirnya Nabi Yusuf di posisi tadi tidaklah jadi masalah, tapi bila ketika itu justru ia menjabat dalam Darul Kuffar, beberapa pengamat menyatakan bahwa ini menimbulkan beberapa masalah yang mesti dibahas, di antaranya : · Bila Nabi Yusuf menjabat dalam darul Kuffar dan ikut membangun dan menyelamatkan negara tersebut dari bencana. Maka kita juga boleh dong begitu. Dari pada repot membangun Daulah Islamiyah yang belum jelas kapan menangnya, mendingan beramal sholeh mensejahterakan rakyat. Asalkan kitanya amanah dan bertanggung jawab, tokh nilai negara tidak merusak nilai pribadi. terbukti Nabi Yusuf, iapun berkiprah dalam Darul Kuffar .....


Bila melihat surat 40 : 34 Nabi Yusuf AS lahir dan berjuang sebelum Nabi Musa AS, beliau adalah seorang pejabat yang senantiasa menyertakan penjelasan [bayyinat] dalam hidup kesehariannya. Namun sampai Nabi Yusuf meninggal para birokrat Mesir tetap ragu untuk menerima ajaran [bayyinat] tadi. Bahkan ketika Nabi Yusuf meninggal mereka sama sekali tidak berharap akan kedatangan Rasul baru yang membawa misi seperti Nabi Yusuf tersebut.

Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Negara Mesir ketika Nabi Yusuf menjabat adalah sebuah daulah Islamiyah, bahkan di ujung surat 40 ayat 34, para birokrat mesir sesudah meninggalnya beliau, tetap dinilai sebagai sesat, melampui batas [musrif], ragu ragu [murtab], sombong [mutakabbir] dan angkuh/sewenang wenang [jabbar]. Artinya semenjak Nabi Yusuf datang hingga meninggal, tidak ada yang berubah pada kondisi mental mereka, tetap saja ragu dan ragu.

Raja yang disebutkan pada S.12 : 43, Quran mengunakan istilah Al Malik, pun tidak dijelaskan persis prinsip keyakinan dan pemihakan aqidahnya. Nama Malik bagi raja, ataupun ‘Aziz bagi pejabat tinggi, bukanlah cerminan dari keislamannya, tapi istilah/gelar bagi jabatan yang dibahasakan dalam istilah ‘Arab sebagai pengantar Quran[1]. Yang jelas dia adalah orang yang mempercayai mimpi mimpi dan sampai bertanya tanya pada Al Mala [para pejabat teras] mengenai apa yang pernah diimpikannya tentang sapi dan bulir gandum.

Sedikit ada penjelasan dalam S.12 : 76. Bahwa Nabi Yusuf tidak mau menggunakan undang undang raja [Dienil Malik] berkenaan dengan kasus saudaranya, Bunyamin. Timbul pertanyaan, apakah ketidak mauan Nabi Yusuf menggunakan hukum/undang undang raja ini, disebabkan karena ini hanyalah sebagai siasat untuk membawa serta Bunyamin bersamanya, karena andai waktu itu yang digunakan adalah hukum raja bukan kesepakatan lisan [S.12:72-75], maka tentu Bunyamin akan mendapat kesulitan. Atau karena sebenarnya nabi Yusuf tidak setuju dengan pola perundang undangan di negara tersebut ?? Dalam S.12 : 37 - 40, ketika Nabi Yusuf dipenjara, ia sempat berdakwah pada dua orang rekannya seterali besi. Pada sa’at itu ia menjelaskan jati dirinya, bahwa sebenarnya ia meninggalkan millah orang orang yang tidak beriman dan kafir pada hari akhirat. Dia hanya ittiba [ikut/commited] pada millah leluhurnya Ibrohim, Ishaq dan Ya’qub[2]. Di ayat 40 nya beliau menegaskan bahwa hukum hanyalah kepunyaan Allah, bila dihubungkan dengan ayat 37 yang ia menyatakan meninggalkan millah qoum di Mesir ketika itu, menunjukkan bahwa Nabi Yusuf AS tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberlangsungan hukum yang tengah effektif berlaku di daerah tersebut.

Dalam S.12 : 67, 87, 93, 94 Menunjukkan bahwa Nabi Ya’qub dan keluarganya bukan penduduk kerajaan Mesir, saudara saudara Yusuf harus melewati perbatasan dan melewati penjagaan untuk sampai ke pusat distribusi bahan makanan. Dalam S.12 : 99. Nabi Ya’qub AS, masuk ke Negara Mesir, atas jaminan keamanan dari Nabi Yusuf AS. Ini memperjelas status nabi Yusuf yang memang bukan warga negara Mesir sebagaimana ayahnya pula.

Dalam tafsir Quran karya Maulana Muhammad Ali M.A, LL. B (The Holly Quran - terjemah), ketika menafsirkan S.12:76, tentang Rencana Allah yang menyutradai kasus penyembunyian piala dan ketidak patutan Nabi Yusuf AS menggunakan undang undang raja, dalam catatan kaki no.1246 beliau menulis : Pernyataan ini menerangkan sejelas jelasnya bahwa ini bukanlah rencana nabi Yusuf melainkan rencana Tuhan. Dengan perkataan lain, keadaan ini memang dibikin untuk menolong Nabi Yusuf dapat berkumpul dengan saudaranya. Sudah tentu keinginan Nabi Yusuf ialah menahan adiknya pada waktu saudara saudara yang lain pulang. Tetapi beliau tak mungkin berbuat demikian di bawah undang undang kerajaan Mesir, sebagaimana diuraikan dalam kalimat berikutnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang hidup di bawah pemerintahan asing harus patuh kepada undang undang pemerintah tersebut.

Pernyatan di atas menguatkan keyakinan penulis, bahwa Nabi Yusuf adalah warga negara asing di Mesir, ia menjabat posisi tadi sebagai Al Aziz [Pembesar S.12:78], atau katakanlah tenaga kerja asing yang amat ahli [spesialis] untuk mengelola perbendaharaan negara[3]. Ketika pertama dipanggil menghadap raja pun, ia disambut raja dengan kredibilitas sebagai orang yang terhormat dan terpercaya [S.12:54]. Dalam zaman sekarang ini lazim diberikan kepada orang asing yang kehadirannya disukai.

Memang dalam S.12 : 101 nabi Yusuf ada berkata bahwa Allah telah memberikan kepadanya sebagian kerajaan, tapi itu tidak menunjukkan bahwa ia punya otoritas menguasai satu wilayah, sepertinya -bila dihubungkan dengan permintaan dia di S.12:55 kepada raja. Nabi Yusuf hanya sekedar menjabat satu departemen saja, bukan mempertanggung jawabkan satu wilayah.

Dari analisa tadi, penulis menilai bahwa dari sisi Islam, Nabi Yusuf adalah agent yang didukung irodah ilahi melalui rangkaian taqdir yang dilaluinya[4] berhasil menyusuf ke jaringan struktural negara lain. Konsep ini setara dengan konsep “Tuqah” dalam Surat Ali Imran ayat 28, dimana seorang dari front mukminin, bisa bersiasat “pura pura” mengakui struktur lawan dengan lisan dan sikap permukaan[5], bahkan bekerja dalam struktur itu, untuk kepentingan orang yang beriman. Senada dengan ini, bisa juga kita temukan dalam Surat Al Mukmin (40) : 28, dimana disebutkan di situ, adanya seorang mukmin yang menyembunyikan imannya. Kehadiran dia di sana menjadi penting untuk beberapa keperluan :

1. Simpul informasi, sehingga bisa menembuskan berbagai informasi penting ke front mukminin.

2. obstacles, dalam arti seapik mungkin bisa menghalangi atau menunda rencana rencana musuh untuk merusak pertahanan front mukminin. Sebagai contoh penentangan seorang yang menyembunyikan imannya terhadap keputusan fir’aun, bisa dimanfaatkan oleh Musa untuk mengambil kesempatan melarikan tugasnya, sehingga tetap selamat.

3. Membangun suasana kondusif di kandang lawan, untuk keuntungan perjuangan mukminin. Dan ini pernah dilakukan Imam Awal dengan mengutus Anwar Tjokroaminoto, menjadi penghubung di daerah Republik Indonesia.

Menyembunyikan iman bukanlah kemunafikan, sebab kemunafikan adalah menyembunyikan kekafiran dibalik baju ‘iman’. Dalam konsep perjuangan, kelihaian bersembunyi di kandang lawan ini tidak merusak aqidah, bahkan ini bagian dari peperangan, seperti sabda Nabi saw : Al Harbu khud’atun (Perang itu adalah tipudaya).

Namun tentu saja dalam hal ini kita perlu waspada jangan sampai ada agent musuh yang masuk ke dalam tubuh perjuangan kita, dan menyatakan bahwa kehadirannya di front lawan adalah siasat. Inilah yang disebut double agent (kaum munafiq) yang harus kita waspadai sebab mereka adalah musuh yang nyata[6].

Jadi bisa saja seorang gerilyawan NII bekerja di wilayah Republik Indonesia, sebagai apa saja. Bahkan kalau dalam struktur Islam tidak disukai (makruh) meminta jabatan, maka dalam struktur kufar, sangat disukai kalau kita – dengan segala kemampuan yang dimiliki – menuntut jabatan, sebab semakin besar pengaruh jabatan itu dipegang pejuang Islam, maka semakin effektif untuk menopang perjuangan dan memutus perpanjangan kekuasaan Lawan. Sebuah nasihat yang bijak dari seorang gerilyawan ketika membina saya : kalau bekerja di RI jangan dianggap pengabdian, sebab tidak pantas hamba Allah mengabdikan dirinya untuk struktur jahiliah. Jangan pula dianggap mencari nafkah, anggaplah sedang belajar dan dibayar (magang), alih teknologi, bahkan mengumpulkan informasi teknis ataupun politis untuk kepentingan perjuangan kita. Hal ini dijamin oleh undang undang perang kita, lihat Tuntunan II pasal 2 ayat empat : 4. “Barangsiapa yang menjadi alat penjajah (musuh) baik yang menajdi sipil, militer maupun hanya membantu saja (kecuali orang yang menjadi infiltrasi dari kita) seperti mata-mata, adalah musuh Negara” Artinya baru disebut musuh negara Islam, bila kehadirannya di struktur musuh, bukanlah atas ijin pemerintahan Islam berjuang . Salah satu presedensnya adalah masalah Sunnah Nabi Yusuf AS.

Ketika penulis berjuang sendirian, semata mata berbekal cinta pada negara Islam tapi tidak di bawah arahan pemerintahan Islam Berjuang, sempat salah dalam mengartikan “Sikap Hijrah”. Di tahun 90 an penulis sendiri berpandangan demikian. Berlepas diri (bara) dari kekafiran bermakna tidak terlibat hubungan kerja atau apa saja, dengan fihak non mujahid, sebab dalam indoktrinasi yang diteriman, diterangkan bahwa “sikap Hijrah adalah Non Kooperatif”. Akhirnya teman seangkatan saya yang menolak bekerja di perusahaan perusahaan asing apalagi menjadi pegawai negeri (RI), bahkan ada yang membakar ijazahnya dengan alasan menolak segala legalitas formal dari RI. Sebenarnya saat itu pun terpikir, andai semua pejuang Islam menjauh dari lapangan kehidupan yang memang kini lagi dipegang penguasa Anti hukum Islam (ingat peristiwa 18 Agustus 45), terus kita hanya tinggal di sawah sawah dan di pinggir pinggir hutan, kapan kita akan mempunyai kemampuan memimpin dan mengelola, bila kesempatan itu tiba ?


Bahwa secara struktural kita harus terpisah, memang demikian (S.4 :76). Bahwa seratus prosen hati mesti setia pada kepemimpinan mukminin dan berlepas diri dari kepemimpinan Non Islam, demikianlah tuntunan Quran(S.4 :144). Tetapi berpisah bukan berarti tidak pernah sama sama bekerja, terlihat berada di area kerja yang sama, tidak lantas menunjukan bekerja sama untuk satu kepentingan bersama. Dalam dunia intellijen, dua orang agen bisa saja tampak bahu membahu, tetapi untuk kepentingan yang berbeda, bahkan saling memusuhi. Secara cantik Asy Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menjelaskan perbedaan ini di tahun 1936 :

Faham Hidjrah itoe lebih mendalam, lebih loeas, lebih sempoerna, dari pada faham politik. Lebih djelas dan lebih tegas, djika kita katakan, bahwa Hidjrah itoe melipoeti Politik, dan Politik itoe adalah termasoek di dalam Hidjrah. Oleh karena sebab-sebab dan mengingat keterangan-keterangan seperti jang kita bentangkan di atas maka Sikap Politik jang dikehendaki oleh P.S.I.I. mesti bersifat Hidjrah, dan tidak dapat diloearkan dari pada Hidjrah itoe.…………..

Bagi kaoem Party Sjarikat Islam Indonesia, masalah ,,non” dan ,,co” itoe boekan perkara penting, malahan tidak berharga sedikit poen djoega, sebab pendirian jang demikian itoe hanjalah boleh timboel dari pada hawa nafsoe, jang djaoeh dari tinggi dan oetama! Dari sebab itoe kaoem P.S.I.I. tidak memikirkan ,,non” atau ,,co”. Sebab memikirkannja sadja poen soedah menimboelkan roegi, karena meninggalkan wadjib.[7]

Karena itu “Sikap Hijrah”, adalah sikap cerdas yang memerlukan keteguhan hati, keluwesan sikap, dan instink intellijen yang tinggi, apalagi di tahun tahun ini (2001). “Sikap Hijrah” tidak harus selalu bermakna putus hubungan, tetapi lebih ditekankan pada hal berikut : « Kepada siapa kita setia dan untuk kepentingan siapa kita berbuat », ini lebih penting dari sekedar menyingkir belaka. Dalam rangka berjuang membangun struktur alternatif, maka setiap elemen perjuangan mesti mampu menempati posisi posisi yang kelak akan dipertanggung jawabkannya di hadapan Allah.

Karena posisi itu kini diduduki mereka, maka salah satu solusinya adalah berusaha memandaikan diri di tempat yang sama. Mengingat di negara Islam berjuang, jabatan jabatan teknis belumlah lengkap, maka bekerja di tempat lawan adalah salah satu sarana untuk memupuk kemampuan tersebut. Sebagaimana anak anak kita sekarang tengah giat menuntut ilmu di luar negeri (- termasuk RI, bagi NII adalah luar negeri J), begitu juga dengan orang tua mereka, banyak yang menjadi tenaga kerja asing di luar negeri. Keberadaan pejuang di gelanggang lawan menjadi amat penting ketika terjadi peralihan kekuasaan. Pertumpahan darah bisa diminimalisir, karena tidak semua orang yang di pihak lawan adalah musuh kita. Sebagai contoh, setelah Nabi Yusuf AS, berhasil dengan program 14 tahun Penyelamatan Krisis Ekonomi. Dan dengan ambisi yang positif ia meminta raja memberinya posisi sebagai Bendaharawan Negara (S.12 : 55). Ketika Negara dalam krisis pangan, dimana warga negara Mesir sendiri harus membarter pangan yang diperlukan di pos pos Logistik, tapi untuk kaum beriman pengikut millah Ibrahim (yang waktu itu hanya diwakili keluarganya) mendapatkan jatah gratis. Dengan cara, barang barteran nya dimasukkan kembali bersama makanan yang dibelinya. (S.12 : 65).

Tentu saja diperlukan sejumlah syarat bagi orang yang hendak menjalankan misi intellijen ini. pertama agen tadi bukanlah pemegang kepemimpinan tertinggi front Islam Berjuang, dimana pun tidak ada presiden yang jadi agen intellijen yang menyusup ke kandang lawan. Sebab bagi Imam, dalam kedudukannya sebagai simbol perlawanan, harus secara nyata menunjukkan kebersebrangannya dengan lawan (lihat S.17:73-75). Seperti Uswah Hasanah Nabi Ibrohim dan pengikutnya menyatakan baroah dengan kekafiran (lihat S.60:4), seperti Rasulullah saw memproklamasikan baroah lewat surat Al Kafirun, seperti juga Imam Kartosoewirjo menjelas tegaskan baroahnya dengan proklamasi NII 7 Agustus 1949. Kita ini bisa mondar mandir dengan bebas di daerah pendudukan RI, menjadi warga negara asing gelap, yang bisa ikut mencari segala, karena imam kita mengambil sikap furqon. Kalau imamnya ‘nempel’ di sana, dengan muka yang mana kita bisa mengatakan bahwa kita mengikuti sunnah Muhammad yang bermilahkan Millah Ibrohim (S.6:161 – 163) yang merupakan Millah Baro-ah itu.

Bahwa bai’at yang bisa menyelamatkan kita dari mati jahiliyah (HR. Muslim) bukanlah sekedar tangan bersalaman dan mengucapkan “wallahi”, tetapi bai’at yang membuat kita terlepas dari ikatan hukum jahiliyah (lihat S.5:50). Bila imam yang dibai’at juga warga RI, artinya masih terikat hukum jahiliyah versi RI, maka seribu kali anda berbai’at, sama sekali tidak melepaskan anda dari ikatan hukum jahiliyah itu. Kecuali bila anda mengangkat janji setia (naturalisasi) pada Negara Islam, maka seketika itu juga ikatan kewarganegaraan RI – jahiliyah – itu terlepas. Inilah pilihan berani yang harus diambil. Sebab jika tidak baro-ah (berlepas diri) dari sistem kufur, maka Rosulullah yang akan berlepas diri dari anda. Seperti dikatakan dalam Bulughul Maram, Bab Jihad Hadit nomor 1288, Rosulullah saw bersabda : “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang berada bersama musyrikin” (H.R. Abu Dawud)

Sebab bila imam boleh berpura pura, saya juga mau jadi imam kayak begitu Juga enak sekali, ummat menjunjung tinggi, musuh pun melindungi. Kita mengenal ada beberapa orang yang mendakwakan diri sebagai imam, tetapi sikap politiknya mendua seperti itu. Alangkah senangnya, diperlakukan secara terhormat oleh ke dua pihak, standing between two enemies, dan menyauk keuntungan dari kedua duanya, tapi tentu saja sikap seperti ini tidak bakal menyenangkan di akhirat, percayalah …..

Memang aneh, kalau ummatnya disuruh keluar dari pekerjaan, bahkan beberapa orang yang berhasil menempati posisi penting, bahkan mau disekolahkan oleh perusahaan ke luar negeri, di suruh keluar. Tapi Imamnya sendiri masuk kandang RI dan ongkang ongkang kaki di sana, lebih aneh lagi, ummatnya malah tertular penyakit masochist (semakin menderita, semakin senang) sebagai hadiah buat sang imam yang dicintainya. Subhanallah ….

Berjuang di Kandang Lawan

Perhatikan sejarah Nabi saw. mengenai orang-orang yang disusupkan ke pihak musuh. di antaranya:

1) Sewaktu Perang Khandak, ketika tentara Islam dikepung oleh tentara musyrikin gabungan dari beberapa Qobilah yang dipimpin oleh bangsa Quraiys, yang dibantu oleh kaum Yahudi dari Bani Nadhir yang telah mengingkari perjanjian dengan pihak muslimin. Sehingga tentara sekutu yang sudah berkali lipat jumlahnya daripada tentara muslimin itu semakin lebih kuat lagi dengan ditambah perbekalan dari kaumYahudi. Dalam keadaan terjepit itu datang seorang yang bernama Nu'aim mengajukan usul agar dirinya diberi izin oleh Nabi berangkat mendatangi para pemimpin Yahudi, juga para pemimpin Quraiys, dengan tujuan supaya diantara kedua golongan yang bersatu itu timbul ketidakpercayaan sehingga masing-masing pihak membatalkan perjanjian bersekutu. Usulan Nu'aim itu diterima oleh Nabi Saw, dan hal itu dilaksankan. “Rasulullah meminta kepadanya supaya ia menyembunyikan keislamannya. Kemudian Nabi berkata kepadanya: ”Cobalah sebarkan bibit perpecahan kedalam pasukan sekutu itu, sehingga mereka meninggalkan kita. Peperangan itu ialah tipu muslihat”[8]

2) Sesudah terjadi Perang Fathu Makkah, Rasulullah Saw. memperoleh berita bahwa kaum Qabilah Hawazin, kaum Qabilah Tsaqif dan lain-lainnya telah bersekutu dan telah bergabung hendak mengadakan perlawanan terhadap kaum muslimin. Tentara musuh itu berkumpul di Hunain,“maka dengan segera Nabi SAW menyuruh seorang dari kaum muslimin yang bernama Abdullah bin Hadrad al-Aslami, seorang sahabat yang gagah berani dan pandai untuk menyelidiki berita-berita yang masih dirahasiakan, agar ia berangkat dari Makkah untuk menyelidiki berita-berita itu. Selanjutnya oleh beliau diperintahkan juga, bahwa jika ia telah jelas mengetahui kebenaran berita-berita itu supaya masuk menjadi salah seorang anggota tentara musuh itu, dengan tujuan agar dapat mendengar dan mengetahui segala sesuatu yang akan dilakukan oleh pihak musuh terhadap kaum muslimin. Dengan tulus ikhlas dan gagah berani, Abdullah bin Abi Hadrad al-Aslami lalu berangkat ke Hunain seorang diri membawa tugas yang berat itu. Sesampainya di Hunain, lalu ia berpura-pura ikut masuk menjadi anggota tentara musuh. Dalam pada itu, ia dengan diam-diam lalu dapat mendengarkan suara-suara pihak musuh dan segala sesuatu yang akan dilakukan oleh mereka. Setelah ia mendapatkan beberapa bukti dan mencatat segala sesuatu yang akan dilakukan oleh pihak musuh, maka dengan diam-diam lalu meloloskan diri dan segera kembali ke Makkah. Setibanya kembali di Makkah, ia melaporkan kepada Nabi SAW tentang segala sesuatu yang telah di dengar dan diketahuinya dari pihak musuh. Dengan demikian, maka dengan segera ketika itu Nabi SAW lalu bersiap sedia mengatur angkatan perang kaum muslimin yang masih ada di Makkah. [9]

3) Terhadap Nu'aim ibnu Mas’ud, juga 'Abdullah bin Abi Hadrad Al- Aslamy bisa disebut penyusupan. Dan apa yang dilakukan oleh keduanya setelah memperoleh tugas, seperti halnya diplomasi yang dikemukakan Nu'aim hal itu merupakakan ijtihad dirinya. Sebab:

a) Meskipun Nu'aim adalah orang terkenal dan dipercaya oleh pemimpin-pemimpin Yahudi, juga pemimpin musyrikin Quraiys, namun keislaman dirinya belum diketahui mereka, sehingga bagi pihak muslimin bisa disebut penyusupan.

b) Berangkatnya Nu'aim mendatangi pihak musuh itu atas dasar izin dari Nabi Saw selaku pimpinan, sehingga bernilai tugas , artinya bukan menyerah kepada musuh.

c) Begitu juga Abdullah bin Abi Hadrad Al-Aslamy, dirinya tidak diketahui oleh musuh sebagai tentara Islam yang disusupkan. Dan hal itu atas dasar perintah dari pimpinan, sehingga pada dirinya tidak memiliki nilai "firror", melainkan demi strategi keberhasilan perjuangan.

Pokok pertama penyusupan yaitu orang yang disusupkannya bukanlah orang yang sudah dikenal oleh musuh sebagai pejuang Islam. Sama keadaannya dengan yang sedang bergerilya di bawah permukaan tidak menyandang senjata, tidak berperang secara fisik terbuka, melainkan berjuang masih secara sembunyi-sembunyi (Sirron) tidak diketahui musuh meski musuh itu melihat kearah mukanya. Dalam keadaan tidak perang frontal apalagi berada di wilayah yang dikuasai musuh, maka untuk kelancaran tugas perjuangan bila diperlukan harus mendatangi musuh. Hal demikian bukanlah firror, yakni bukan melarikan diri dari medan pertempuran, melainkan sebagai siasat mencari peluang bergerak. Hal seperti itu bisa disebut ijtihad. Sebab, sedang tidak dalam keadaan bertempur secara fisik, sehingga berpegang pada Al-Qur'an surat 3 Ali Imran ayat 28-29: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Alloh kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Alloh memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan hanya kepada Alloh kamu kembali.” _ (Q.S.3:28). “Katakanlah:”Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Alloh mengetahui" Alloh mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S.3:-29)

Dalam keadaan tidak di medan perang atau didalam wilayah yang dikuasai musuh, para mujahid (tentara Islam) harus bisa menetralisir diri supaya tidak diketahui musuh. Dalam Al Quran, Allah mengangkat seorang yang menyembunyikan Imannya di kalangan elit Fir’aun menjadi nama sebuah surat (Al Mukmin) dan mengenai dirinya disebutkan dalam ayat ke-28. Pelajaran yang kita tarik dari hal ini adalah, bahwa menyembunyikan iman bukanlah kemunafikan (lihat pula S.16 : 106 – 107). Kemunafikan adalah menyembunyikan kekafiran, seperti terjadi di madinah, beberapa orang menyatakan keislamannya, padahal kekufuran tersembunyi di hatinya (perhatikan S.63 : 1 – 5, S.9: 62).


Berbeda keadaannya dengan yang sedang di medan perang menggunakan kekuatan senjata. Dalam arti lain sedang perang frontal. Bila melarikan diri dalam keadaan demikian, maka sama dengan yang disitir dalam Al-Qur'an yang bunyinya:

“Dan ingatlah ketika segolongan di antara mereka berkata:”Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebagian dari mereka minta idzin kepada Nabi SAW untuk kembali pulang dengan berkata:”Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjagaan)”. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.”_ Q.S.33:13).

“Kalau Yatsrib diserang dari segala penjuru, dan kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tidak akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat. (Q.S. 33:14 ).

“ Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Alloh: ”Mereka tidak akan berbalik kebelakang (mundur)”. Dan adalah perjanjian dengan Alloh akan diminta pertanggungan jawabnya”.(Qs.33:13:15)

Yang disitir dalam ayat-ayat itu ialah mereka yang melarikan diri dari medan perang. Padahal larinya itu bukan lapor ke musuh, melainkan ke rumah masing-masing, yakni tidak membelot ke Pemerintah Musyrik Quraiys Makkah, melainkan tetap di dalam lingkungan Madinah, tetapi dicela oleh Allah, dan dicap bahwa mereka itu sebagai "Firror". Terhadap yang sedemikian saja dicap sebagai firror, maka bagaimana lagi terhadap yang datang kepada musuh sambil menyerahkan senjata, serta mencaci maki Pemimpin negara Islam bahkan menjelekan njelekkan negara Islam yang pernah ia perjuangkan. Ini pernah terjadi di Jaman Rosulullah saw, ada petugas petugas / aparat Nabi Saw di Madinah, tapi kemudian melaporkan diri kepada Pemerintah Musyrikin Makkah dan selanjutnya (membuat sajak-sajak) mencaci Nabi Muhammad S.a.w. sebagai kepala negara Islam di Madinah. Sehingga sewaktu kota Makkah ditundukkan (Fathu Makkah) mereka dimasukkan ke dalam Daftar Hitam. Sebagian ada yang diampuni oleh Nabi, karena mereka segera datang meminta ampun; sebagian lagi ada yang lari bersembunyi seperti halnya “Abdullah bin Khattal berlindung di bawah kelambu Ka’bah. Akhirnya ia ditangkap, lalu Nabi SAW memerintahkan seseorang dari tentara Muslim untuk membunuhnya.” [10]


Berkenaan dengan penyusupan pula, dan saya menduga kuat bahwa menyusup, berasal dari kata melayu setelah Islam datang, asal katanya Yusuf dan me-Yusuf atau menYusuf yang kemudian terjadi pergeseran fonetik[11] menjadi “menyusup”, berarti mengikuti caranya Nabi Yusuf AS, yakni masuk ke dalam Struktur kafir dan berbuat sesuatu dari dalam untuk membantu perjuangan Tauhid. Nabi Yusuf memang figur yang kehadirannya di dala Al Quran mengundang penelaahan.


Timbul perbincangan mengenai nabi Yusuf AS ini, terutama jabatan yang dipegangnya. Apakah dia memegang posisi tadi dalam struktur pemerintahan Darul Kuffar, atau semasa Mesir di bawah kekuasaan Daulah Islamiyyah ? Kejelasan ini diperlukan sebab kasus Nabi Yusuf merupakan presedens/sunnah yang amat menentukan bagi pemetaan strategi perjuangan Islam berikutnya.


Jika Mesir ketika itu adalah sebuah Daulah Islamiyyah, maka hadirnya Nabi Yusuf di posisi tadi tidaklah jadi masalah, tapi bila ketika itu justru ia menjabat dalam Darul Kuffar, beberapa pengamat menyatakan bahwa ini menimbulkan beberapa masalah yang mesti dibahas, di antaranya : Bila Nabi Yusuf menjabat dalam darul Kuffar dan ikut membangun dan menyelamatkan negara tersebut dari bencana. Maka kita juga boleh dong begitu. Dari pada repot membangun Daulah Islamiyyah yang belum jelas kapan menangnya, mendingan beramal sholeh mensejahterakan rakyat. Asalkan kitanya amanah dan bertanggung jawab, tokh nilai negara tidak merusak nilai pribadi. Tuh buktinya Nabi Yusuf, iapun berkiprah dalam Darul Kuffar .....

Baiklah, penulis mencoba memaparkan ini, sebagai pandangan awwal saja, semoga mengundang pembahasan yang lebih sempurna oleh para fakkar [pemikir] yang berkompeten, Aamiin

Bila melihat surat 40: 34 Nabi Yusuf AS lahir dan berjuang sebelum Nabi Musa AS, beliau adalah seorang pejabat yang senantiasa menyertakan penjelasan [bayyinat] dalam hidup kesehariannya. Namun sampai Nabi Yusuf meninggal para birokrat Mesir tetap ragu untuk menerima ajaran [bayyinat] tadi. Bahkan ketika Nabi Yusuf meninggal mereka sama sekali tidak berharap akan kedatangan Rosul baru yang membawa misi seperti Nabi Yusuf tersebut.

Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Negara Mesir ketika Nabi Yusuf menjabat adalah sebuah daulah Islamiyyah, bahkan di ujung ayat 34 dan 34, para birokrat mesir sesudah meninggalnya beliau, tetap dinilai sebagai sesat, melampui batas [musrif], ragu ragu [murtab], sombong [mutakabbir] dan angkuh/sewenang wenang [jabbar]. Artinya semenjak Nabi Yusuf datang hingga meninggal, tidak ada yang berubah pada kondisi mental mereka, tetap saja ragu dan ragu.

Raja yang disebutkan pada S.12 : 43, Quran mengunakan istilah Al Malik, pun tidak dijelaskan persis prinsip keyakinan dan pemihakan aqidahnya. Nama Malik bagi raja, ataupun ‘Aziz bagi pejabat tinggi, bukanlah cerminan dari keislamannya, tapi istilah/gelar bagi jabatan yang dibahasakan dalam istilah ‘Arab sebagai pengantar Quran. Lihat catatan kaki no 125. Yang jelas dia adalah orang yang mempercayai mimpi mimpi dan sampai bertanya tanya pada Al Mala [para pejabat teras] mengenai apa yang pernah diimpikannya tentang sapi dan bulir gandum.

Sedikit ada penjelasan dalam S.12 : 76. Bahwa Nabi Yusuf tidak mau menggunakan undang undang raja [Dienil Malik] berkenaan dengan kasus saudaranya, Bunyamin. Timbul pertanyaan, apakah ketidak mauan Nabi Yusuf menggunakan hukum/undang undang raja ini, disebabkan karena ini hanyalah sebagai siasat untuk membawa serta Bunyamin bersamanya, karena andai waktu itu yang digunakan adalah hukum raja bukan kesepakatan lisan [S.12:72-75], maka tentu Bunyamin akan mendapat kesulitan. Atau karena sebenarnya nabi Yusuf tidak setuju dengan pola perundang undangan di negara tersebut ??

Dalam S.12 : 37 - 40, ketika Nabi Yusuf dipenjara, ia sempat berdakwah pada dua orang rekannya seterali besi. Pada sa’at itu ia menjelaskan jati dirinya, bahwa sebenarnya ia meninggalkan millah orang orang yang tidak beriman dan kafir pada hari akhirat. Dia hanya ittiba [ikut/commited] pada millah leluhurnya Ibrohim, Ishaq dan Ya’qub[12].

Di ayat 40 nya beliau menegaskan bahwa hukum hanyalah kepunyaan Alloh, bila dihubungkan dengan ayat 37 yang ia menyatakan meninggalkan millah qoum di Mesir ketika itu, menunjukkan bahwa dia tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberlangsungan hukum yang tengah effektif berlaku di daerah tersebut.

Dalam S.12 : 67, 87, 93, 94 Menunjukkan bahwa Nabi Ya’qub dan keluarganya bukan penduduk kerajaan Mesir, saudara saudara Yusuf harus melewati perbatasan dan melewati penjagaan untuk sampai ke pusat distribusi bahan makanan. Dalam S.12 : 99. Nabi Ya’qub AS, masuk ke Negara Mesir, atas jaminan keamanan dari Nabi Yusuf AS. Ini memperjelas status nabi Yusuf yag memang bukan warga negara Mesir sebagaimana ayahnya pula. Dalam tafsir Quran karya Maulana Muhammad Ali M.A, LL. B (The Holly Quran - terjemah), ketika menafsirkan S.12:76, tentang Rencana Alloh yang menyutradai kasus penyembunyian piala dan ketidak patutan Nabi Yusuf AS menggunakan undang undang raja, dalam catatan kaki no.1246 beliau menulis :

Pernyataan ini menerangkan sejelas jelasnya bahwa ini bukanlah rencana nabi Yusuf melainkan rencana Tuhan. Dengan perkataan lain, keadaan ini memang dibikin untuk menolong Nabi Yusuf dapat berkumpul dengan saudaranya. Sudah tentu keinginan Nabi Yusuf ialah menahan adiknya pada waktu saudara saudara yang lain pulang. Tetapi beliau tak mungkin berbuat demikian di bawah undang undang kerajaan Mesir, sebagaimana diuraikan dalam kalimat berikutnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang hidup di bawah pemerintahan asing harus patuh kepada undang undang pemerintah tersebut.

Pernyatan di atas menguatkan keyakinan penulis, bahwa Nabi Yusuf adalah warga negara asing di Mesir, ia menjabat posisi tadi sebagai Al Aziz [Pembesar S.12:78], atau katakanlah tenaga kerja asing yang amat ahli [spesialis] untuk mengelola perbendaharaan negara[13]. Ketika pertama dipanggil menghadap raja pun, ia disambut raja dengan kredibilitas sebagai orang yang terhormat dan terpercaya [S.12:54]. Dalam zaman sekarang ini lazim diberikan kepada orang asing yang kehadirannya disukai.

Memang dalam S.12 : 101 nabi Yusuf ada berkata bahwa Alloh telah memberikan kepadanya sebagian kerajaan, tapi itu tidak menunjukkan bahwa ia punya otoritas menguasai satu wilayah, sepertinya -bila dihubungkan dengan permintaan dia di S.12:55 kepada raja. Nabi Yusuf hanya sekedar menjabat satu departemen saja, bukan mempertanggung jawabkan satu wilayah.

Dari analisa tadi, penulis menilai bahwa dari sisi Islam, Nabi Yusuf adalah agent yang didukung irodah ilahi melalui rangkaian taqdir yang dilaluinya[14] berhasil menyusuf ke jaringan struktural negara lain. Dan dalam konsep strategi perjuangan, ini tidak berakibat apa apa bagi aqidah. ( Wallahu a'lam bish-Showab). selesai.



[1] Lihat catatan kaki Al Quran terjemah Depagri no 752

[2] Dimana kita tahu bahwa Nabi Ibrohim adalah Bapak Baro-ah, Tokoh proklamator yang memproklamirkan pemutusan hubungan dengan kafirin berikut konsep kekafiran yang bercokol, secara terbuka mengumandangkan permusuhan total sebelum yang dimusuhi beriman kepada Allah semata.

[3] Dalam The Holly Quran itu juga catatan kaki no 1227 diterangkan arti Al ‘Aziz sebagai berikut : Kata ‘Aziz makna aslinya yang perkasa, yang kuat, yang sentausa, dan gelar ini dapat diterapkan pada pejabat yang berkuasa, seperti kepala pengawal raja, yang jabatan ini diduduki oleh Fotifar [pejabat yang membeli Nabi Yusuf -pen]. Adapun raja sendiri disebut Malik [ayat 43], dan dalam ayat 78, Nabi Yusuf yang kedudukannya hanya sebagai pejabat tinggi, bukan raja, beliau disebut Al ‘Aziz.

[4] mula dari dihasud saudara saudaranya, dibuang ke sumur, ditemukan saudagar, dibeli oleh seorang pejabat tinggi Mesir, jadi korban makar isteri pejabat, dipenjara, bertemu dua terpidana, kemudian berhasil, dengan idzin Allah, menakwilkan mimpi raja, hingga dipercaya raja memegang satu posisi penting.

[5] Menurut Tafsir Jalalain : Tuqah adalah masdar (gerund) dari taqaituhu yang artinya « kalian takut, benar benar takut / sangat takut, maka kalian boleh memberikan muwalat / wala dengan lisan tanpa hati. Ini terjadi sebelum kemenangan Islam dan terjadi di negeri yang kaum muslimin dalam keadaan lemah. Tetapi Allah benar benar marah kepada kalian, bila kalian benar benar loyal, bersetia sampai ke hati pada mereka (kafirin).

[6] Lihat Surat Al Munafiqiun (63) : 4

[7] Brosur Sikap Hidjrah P.S.I.I. Halaman akhir.

[8] Sejarah dan Kebudayaan Islam, oleh Prof. Dr.A.Syalabi, hal.129, cet. ketiga, tejemahan Prof. Mukhtar Yahya.

Penerbi PT Jaya Murni. Jakarta.

[9] Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW ,oleh K.H. Moenawar Chalil, buku ke-enam, hal.113-114, cet.ke-enam

1414 H / 1994. Penerbit PT Bulan Bintang. Jakarta.

[10] Ibid, halaman 89.

[11] Menurut bunyi bahasa, berkenaan dengan ejaan yang mengikuti sebutan, phonetically adv dengan menurut bunyi bahasa. Kamus Dwibahasa Oxford Fajar Inggeris Melayu Melayu – Inggris, edisi ke dua Fajar Bakti Sdn Bhd, cetakan ke-12 Selangor Darul Ekhsan hal. 284

[12] Dimana kita tahu bahwa Nabi Ibrohim adalah Bapak Baro-ah, Tokoh proklamator yang memproklamirkan pemutusan hubungan dengan kafirin berkut konsep kekafiran yang bercokol, secara terbuka mengumandangkan permusuhan total sebelum yang dimusuhi beriman kepada Alloh semata.

[13] Dalam The Holly Quran itu juga catatan kaki no 1227 diterangkan arti Al ‘Aziz sebagai berikut : Kata ‘Aziz makna aslinya yang perkasa, yang kuat, yang sentausa, dan gelar ini dapat diterapkan pada pejabat yang berkuasa, seperti kepala pengawal raja, yang jabata ini diduduki oleh Fotifar [pejabat yang membeli Nabi Yusuf -pen]. Adapun raja sendiri disebut Malik [ayat 43], dan dalam ayat 78, Nabi Yusuf yang kedudukannya hanya sebagai pejabat tinggi, bukan raja, beliau disebut Al ‘Aziz.

[14] mula dari dihasud saudara saudaranya, dibuang ke sumur, ditemukan saudagar, dibeli oleh seorang pejabat tinggi Mesir, jadi korban makar isteri pejabat, dipenjara, bertemu dua terpidana, kemudian berhasil, dengan idzin Alloh, menakwilkan mimpi raja, hingga dipercaya raja memegang satu posisi penting.




Senin, 12 Januari 2009

Intelijen Dalam al-Qur'an (1)

GERAKAN ISLAM, DI DALAM ATAU DI LUAR SISTEM?
(Bagian Pertama)

Nabi Yusuf as dan Musa as hidup di wilayah yang sama, yakni wilayah kerajaan Mesir, namun Yusuf as hidup lebih dahulu ketimbang Musa as dengan jarak waktu sekitar 4 abad. Keduanya berhadapan dengan kerajaan yang sama-sama jahiliahnya. Hanya saja, Yusuf as adalah orang Islam pertama di tanah Mesir, sehingga hanya dia sendirilah pemeluk agama tauhid di wilayah itu , sedangkan Musa as hidup di kala umat Islam kaum keturunan Isroil (Ya’kub as) di wilayah itu jumlahnya telah sedemikian besar.

Sebagaimana diketahui, pertama kali sejak kedatangannya, Yusuf as mendapati orang-orang Mesir sebagai kaum penyembah berhala, sekalipun pada dasarnya mereka juga mengakui adanya Alloh . Yusuf bahkan sempat mendakwahi kedua rekannya di penjara untuk meninggalkan penyembahan berhala tersebut, di penjara itu pula Yusuf menjelaskan bahwa sebenarnya dia sama sekali tidak terikat (baro-ah) dengan sistem kehidupan yang dianut bangsa Mesir . Selepas dari penjara, Yusuf diangkat menjadi salah seorang pembesar (menteri raja) di negeri Mesir. Pengangkatannya ini semata-mata adalah karena kepandaiannya menta’birkan mimpi dan karena keluhuran budi pekertinya sebagaimana kesaksian wanita-wanita kelas penguasa yang dulu sempat menggodanya. Tidak jelas, apakah raja mengetahui Yusuf hanya sebatas kepandaian dan keluhuran budi pekertinya itu, ataukah juga mengetahui bahwa Yusuf adalah pembawa misi ajaran baru. Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa sang raja (Royyan bin Al Walid) akhirnya masuk Islam , wallohu ‘alam.

Namun, karunia kemudahan ini rupanya tidak membawa dampak yang berarti bagi dakwahnya. Penduduk Mesir tampaknya lebih menyukai dan menghormatinya sebagai seorang pembesar kerajaan yang jujur, adil, dan bijaksana, ketimbang mentaatinya sebagai nabi dan rosul Alloh. Karena itu, sepanjang riwayat kedudukannya ini, Yusuf tidak kuasa mengubah hukum kerajaan dengan hukum Alloh (syari’at Nabi Ya’kub as), sebagaimana terlihat pada ayat QS. 12:76 yang menyatakan ketidakpatutan Yusuf menghukumi saudaranya (Bunyamin) dengan undang-undang raja. Tampaknya, sepanjang kehidupannya di negeri Mesir, Yusuf melakukan dakwahnya secara rahasia; atau mungkin juga dia melakukan dakwahnya secara terang-terangan dengan asumsi sang raja memang betul masuk Islam, sehingga dia mendapatkan “perlindungan istimewa” dari sang raja. Barangkali juga karena jumlah pengikutnya yang sangat sedikit, maka tidak muncul perlawanan dari orang-orang musyrik yang memiliki kedudukan dan takut kedudukannya itu terancam. Kedudukan Yusuf sebagai menteri kerajaan jahiliah ini dengan demikian tidak membawa dampak merugikan bagi dakwahnya, atau dengan kata-kata lain, keterlibatannya di singgasana kerajaan Mesir tidak merupakan fitnah bagi dirinya sebagai salah seorang agen Darul Islam di bawah pimpinan Ya’kub as .

Sepeninggal Yusuf dan Ya’kub, bangsa Mesir tetap berada dalam keragu-raguan atas apa yang dibawa oleh kedua nabi tersebut; di mana setelah itu, berlalulah masa yang panjang atas bumi Mesir tanpa kehadiran seorang nabi. Kurang lebih 400 tahun kemudian, menurut para ahli sejarah, jumlah umat Islam di bumi Mesir yang kesemuanya itu adalah keturunan Ya’kub as (bani Isroil) telah mencapai angka 600-an ribu orang. Kala itu Mesir diperintah oleh Fir’aun. Sebagaimana yang dapat diperkirakan, ketika jumlah kaum muslimin sedemikian besar, muncullah kekhawatiran dalam diri penguasa bila kaum keturunan Isroil ini akan mengambil alih kekuasaan. Karena itulah bani Isroil akhirnya ditindas dan dijadikan budak oleh bangsa Mesir di bawah kendali Fir’aun. Maka, pada kondisi umat Islam tertindas (di bumi Mesir) inilah Alloh mengutus Musa as untuk membebaskannya.
Tampaknya, perbedaan jumlah umat Islam yang sedemikian menyolok inilah penyebab utama perbedaan perlakuan kalangan elit penguasa terhadap umat Islam di kala itu (bani Isroil). Di masa Yusuf as, umat Islam (keluarga Ya’kub as) mendapatkan kedudukan terhormat, sementara di masa Musa as, umat Islam ditindas dan diperbudak. Kepada bangsa yang tertindas inilah, dengan melalui lisan Musa as, Alloh swt menjanjikan kekuasaan di muka bumi. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk bani Isroil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. (QS. 7:137)

Dengan qudrotulloh, Musa yang semula dibesarkan di lingkungan kerajaan, setelah dewasa dan menerima wahyu, akhirnya menjadi pemimpin tertinggi front pembebasan bani Isroil dari belenggu penjajahan Fir’aun. Demikianlah, baik Yusuf as ataupun Musa as, keduanya berhadapan dengan kerajaan yang sama-sama jahiliahnya (Darul Kufr). Namun, Darul Kufr yang dihadapi Yusuf as bersikap damai terhadap Darul Islam, sementara Darul Harb yang dihadapi Musa as bersikap anti terhadap Darul Islam. Perbedaan sikap penguasa terhadap mereka inilah yang kemudian menyebabkan mereka menempuh jalan yang berbeda. Yang satu menjadi agen Darul Islam, menempuh upaya “parlementer” dengan berusaha mengarahkan kerajaan yang ditempatinya agar tunduk kepada Darul Islam, sementara yang satu lagi menempuh jalan “hijrah”, berdiri di luar tubuh pemerintahan yang ada, karena pada kasus yang kedua ini upaya “parlementer” tidak memungkinkan.

Kisah Yusuf as dan Musa as menjadi suatu presedens/sunnah yang berharga bagi menyatukan visi umat Islam bangsa Indonesia kini dan kelak. Kapan jalan “Yusuf”/parlementer itu ditempuh, tentunya adalah selama negara RI sebagai Darul Kufr tidak bersikap anti kepada Darul Islam, atau dengan kata-kata lain selama sistem perpolitikan RI memberikan peluang hidup kepada partai politik yang tujuan/cita-citanya (sebagaimana termuat dalam anggaran dasarnya) adalah mengubah RI menjadi republik yang berdasarkan Islam . Hal seperti ini mungkin bisa berlaku bagi umat Islam bangsa Indonesia sebelum tahun 1959. Tetapi setelah dikeluarkannya peraturan yang menindas umat Islam di jalur “Yusuf”, berupa Ketetapan Presiden No. 7/1959 (31 Desember 1959) , yang meniadakan kemungkinan bagi partai politik yang mencita-citakan Darul Islam untuk hidup dan tumbuh di dalam tubuh negara RI .

Di sini nampak sekali perbedaan antara kapasitas seseorang sebagai seorang muslim dan kapasitasnya sebagai kepala negara Darul Kufr, beberapa tahun sebelum dikeluarkannya peraturan itu, Soekarno pernah memberikan kuliah umum bertemakan Negara Nasional dan Cita-cita Islam di Universitas Indonesia pada tanggal 7 Mei 1953, di mana antara lain dia mengatakan: “…..jikalau ditanya adakah Islam bercita-cita terutama sekali pula di atas lapangan ketatanegaraan, jawabnya ialah dengan tegas: Ya. Islam mempunyai cita-cita ketatanegaraan, walaupun Islam bukan menghendaki theokrasi, ….” “….Negara ini, Negara sekarang ini, adalah Negara Nasional. Sebab tegas pula di dalam preambule (Mukaddimah) daripada konstitusi itu, baik di dalam konstitusi UUDS Negara Kesatuan sekarang ini tidak diubah akan sifat kenasionalan daripada Negara kita ini. Tetapi dalam pada aku berkata, Negara Republik Indonesia sekarang ini adalah Negara Nasional, aku tidak mengurangi sedikitpun haknya tiap-tiap warga negara untuk mempunyai faham sendiri untuk mempropagandakan faham-fahamnya itu sendiri. Orang Islam, kataku di Amuntai mempunyai hak penuh untuk mempropagandakan cita-citanya sebagaimana pun organisasi Komunis mempunyai hak penuh untuk mempropagandakan cita-citanya.”
Namun kemudian “hak penuh ummat Islam” itu dihapuskan Soekarno dalam kapasitasnya sebagai presiden RI, yang berkewajiban melaksanakan dan mengawal UUD 45 yang memang di awal sejarahnya pun, punya ‘prestasi’ mencoret syari’at Islam. Akibat Ketetapan Presiden tahun 1959 itu, maka partai politik Islam yang mencantumkan dalam anggaran dasarnya cita-cita untuk menjadikan RI sebagai republik yang berdasarkan Islam dapat segera dibubarkan oleh sang presiden. Karena itu, selama ketetapan tersebut tidak dicabut, mustahil akan ada partai politik Islam semacam itu di tubuh RI, terkecuali jika dan hanya jika yang menjadi Presiden RI itu adalah orang yang memiliki komitmen kuat terhadap cita-cita RI-Islam, sehingga ia tidak akan menggunakan tapres tersebut untuk membubarkan partai yang bersangkutan. Barangkali hal semacam ini pulalah yang terjadi di masa Yusuf as; sang raja (Royyan bin Al Walid) telah masuk Islam, sehingga Yusuf as yang berniat mengislamisasikan kerajaan Mesir mendapatkan “perlindungan istimewa” dari sang raja. Namun, karena tidak ada atau hanya sedikit rakyat Mesir yang mendukungnya, maka sampai akhir hayatnya, Yusuf as gagal mengislamisasikan kerajaan tersebut.

“Cara Yusuf” ini dengan demikian dapat saja ditempuh oleh partai-partai politik Islam saat ini dengan target utama menempatkan orang kepercayaan partai di kursi kepresidenan RI. Setelah target ini tercapai, langkah berikutnya adalah mendeklarasikan partai tersebut sebagai partai yang mencita-citakan Darul Islam di Indonesia. Namun, masalahnya adalah apa yang bisa menjamin bahwa orang yang diamanati membawa misi rahasia ke kursi kepresidenan itu tidak akan mungkir dari tugasnya (untuk islamisasi RI), mengingat tidak adanya bukti tertulis (berupa anggaran dasar partai) yang dapat mengikat orang tersebut untuk tetap konsisten dengan misi partainya setelah ia duduk jadi presiden? Dan satu hal lagi, orang yang akan diamanati untuk duduk di kursi kepresidenan itu bukanlah nabi yang dima’shum, bukan seperti Yusuf as yang seorang nabi, sehingga tanpa adanya bukti tertulis, jalan ini menjadi sangat riskan untuk dikhianati. Dari sejarah reformasi yang baru berusia balita ini kiranya telah dapat dilihat betapa sikap inkonsisten telah menjadi “trade mark” sikap para politisi Islam yang duduk di lembaga perwakilan rakyat republik ini, mulai dari sikap setengah hati mereka untuk memperjuangkan dikembalikannya Piagam Jakarta pada SUT MPR tahun 2000, hingga peng-halal-an Megawati menjadi presiden oleh partai-partai politik Islam yang semula mengharamkannya. Karena itu, kepada para politisi yang masih konsisten dengan cita-cita RI-Islam-nya hendaknya jangan sungkan-sungkan untuk mempertimbangkan alternatif perjuangan Darul Islam yang lain, yang telah ditempuh dengan “cara Musa”, yakni Negara Islam Berjuang, Negara Islam Indonesia. NII lahir sebagai suatu keharusan sejarah, mengingat situasi perpolitikan di tanah air saat itu. Penggagasnya sendiri, S. M. Kartosoewirjo, adalah seorang yang semula hendak menempuh “cara Yusuf as” dalam mewujudkan negara Islam, yakni dengan melibatkan diri dalam partai Masyumi, di bawah bendera Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada salah satu tulisannya semasa di Masyumi, Haloean Politik Islam , di mana antara lain ia menulis (pada point V. Ideologi Islam): Sari daripada soeara djiwa Oemmat Islam jang seroepa itoe mengalir kesatoe djoeroesan jang tetap dan tentoe, ialah: tjita-tjita Islam, atau ideologi Islam.

Dalam hal ketatanegaraan dan didalam masjarakat soeara djiwa Oemmat Islam ini bolehlah kami terdjamahkan, sebagai berikoet:

(1). Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik jang berdasar Islam; Menurutnya, Revolusi Nasional yang diawali dengan proklamasi RI itu mesti dilanjutkan dengan Revolusi Sosial; di mana dalam revolusi yang akhir ini, umat Islam mesti bersaing melawan kaum nasionalis dan kaum komunis untuk mengisi dan mewarnai negara yang baru berdiri itu. Hal seperti ini memungkinkan mengingat sistem perpolitikan RI saat itu yang masih dalam masa transisi, sehingga ideologi apa pun dapat mewarnainya. Karena kondisinya yang sedemikian itulah, dapat kiranya RI dianggap dan dipersamakan sebagai Darul Kufr (negara Pancasila) yang bersikap damai kepada Darul Islam, sehingga partai yang memiliki cita-cita radikal semacam Masyumi itu pun dapat tumbuh berkembang. Tentunya, “bersikap damai” yang penulis maksudkan di sini bukanlah damai dalam arti yang sesungguhnya, mengingat ulah mereka sebelumnya terhadap umat Islam, antara lain dengan pengkhianatannya terhadap kesepakatan Piagam Jakarta. Jadi, “sikap damai” yang demikian itu pada dasarnya adalah karena kalangan nasionalis sendiri belum memiliki cukup kekuatan untuk menumpas rival-rival politiknya itu (baik komunis ataupun Islam) dari percaturan politik nasional.

Ternyata situasi tidak seperti yang diperkirakan. Bahtera Republik karam, akibat kebodohan pemerintahnya dalam perjanjian-perjanjiannya dengan Belanda. Dalam perjanjian Renville, 17 Januari 1948, RI mengakui bahwa wilayahnya itu hanya meliputi 8 karesidenan di sekitar Yogya menurut batas demarkasi Van Mook. Sementara itu, umat Islam di Jawa Barat yang ditinggalkan pemerintah Republik mesti berhadapan dengan Belanda. Pada dasarnya, umat Islam secara politik masih memandang RI sebagai negaranya. Karena itu, mereka menyeru kepada pemerintah RI di Yogya untuk membatalkan Renville (konferensi Cisayong 10-11 Februari 1948) mengingat masih ada umat Islam di Jawa Barat yang bersedia mempertahankan wilayah ini (atas nama RI dan demi eksistensi RI) dari pendudukan Belanda. Seruan ini menunjukkan bahwa umat Islam di Jawa Barat saat itu masih bersedia diklaim sebagai rakyat Republik Indonesia. Umat Islam memandang serangan Belanda terhadap RI itu sebagai suatu fitnah , sesuatu yang menjauhkan umat Islam bangsa Indonesia dari jalan politik yang telah dipilihnya, yaitu RI cq Masyumi . Sayangnya, seruan ini tidak digubris oleh pemerintah RI. Padahal, perjuangan melawan Belanda, yang membuat “kekacauan politik” dengan membuat negara (boneka) Pasundan di Jawa Barat, mesti dilakukan dengan suatu definisi politik pula; sehingga perjuangan itu jelas definisinya, dilakukan untuk siapa dan atas nama siapa. Apa lacur! Pemerintah RI tidak bersedia mengakomodir niat baik umat Islam ini. Maka, umat Islam bangsa Indonesia membuat definisi politik baru untuk perjuangan sucinya itu, yaitu Negara Islam Indonesia. Nama NII mulai disosialisasikan Imam S. M. Kartosoewirjo bersamaan dengan dikeluarkannya Maklumat Imam NII No. 1 (25 Agustus 1948).

Sejauh itu, NII masih menganggap RI sebagai sahabat perjuangannya melawan Belanda. Sehingga setelah RI-Yogya hancur oleh agresi militer Belanda yang kedua, 18/19 Desember 1948, di mana pemerintah RI dikabarkan mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah, Imam NII melalui maklumatnya (No. 6) menyeru kepada kaum Republikeinen-TNI untuk melanjutkan perjuangan proklamasi 17 Agustus 1945 melalui wadah NII. Namun, entah syetan apa yang merasuki TNI sehingga TII yang telah berjuang secara gentle melawan Belanda itu malah dimusuhinya. Meletuslah perang segitiga pertama antara TII, Belanda, dan TNI pada tanggal 25 Januari 1949 di Antralina. Inilah kiranya titik awal permusuhan antara TII dan TNI yang berjalan terus hingga tahun 1962.

Bila umat Islam berusaha menjauhi fitnah dengan melaksanakan hijrah, maka kaum Republikeinen malah menjerumuskan dirinya ke dalam fitnah, sebagaimana diperlihatkan dalam “pertunjukan” Roem-Royen yang diputar pada tanggal 7 Mei 1949 itu, suatu perundingan antara pihak yang menawan (pemerintah Belanda) dan orang-orang yang ditawannya (pemerintah RI, ditangkap sejak Agresi Militer II). Dapatlah diprediksikan apa kiranya yang dirundingkan Belanda yang anti Islam dan sempat kalah melawan tentara Islam di Gunung Tjupu (17 Februari 1948) itu dengan orang-orang yang ditawannya . Disebutkan kemudian pada perjanjian Stikker-Hatta (pertengahan 1949) bahwa: RI dengan karena kesanggupannya sendiri, minta bantuan alat senjata kepada Belanda, untuk menghancurkan pihak NII.

Demikianlah kiranya garis perjalanan jihad S. M. Kartosoewirjo. Dia (S. M. Kartosoewirjo) bersikap sebagai “Yusuf” terhadap pemerintah RI (pra Renville), dan bersikap sebagai “Musa” terhadap pemerintah “Fir’aun” Belanda (pasca Renville). Dalam keadaan vacuum of power, nusantara Indonesia ini diproklamasikannya sebagai wilayah Darul Islam (NII), tempat diberlakukannya hukum Alloh, rumah bagi sekalian muslimin di tanah air. RI-musyrik menentang proklamasi ini dan berusaha menjahiliahkan (mem-Pancasila-kan) kembali umat Islam warga NII; maka Kartosoewirjo pun melanjutkan perannya sebagai “Musa” yang memimpin pembebasan “Baitul Maqdis” (Baitulloh, daerah tempat diberlakukannya hukum Alloh) dari tangan-tangan jahiliah penguasanya .

Barangkali kini sebagian orang bertanya, mengapa orang-orang NII tidak mencoba kembali menempuh jalan “Yusuf” sebagaimana founding father NII S. M. Kartosoewirjo pernah menempuhnya pada masa perang kemerdekaan? Perlu digarisbawahi bahwa seburuk-buruknya kondisi NII saat ini, keberadaannya sudah merupakan suatu kenyataan (realiteit) negara yang berlandaskan kepada ajaran Islam; ada pemerintahnya, ada rakyat yang mendukungnya, ada hukumnya, hanya saja wilayahnya lama dikuasai musuh . Sementara itu, sebaik-baiknya kondisi partai Islam di tubuh RI, republik (RI) yang berdasarkan Islam belumlah menjadi suatu kenyataan, ia masih berupa cita-cita (ideologi), atau bahkan mungkin hanya angan-angan belaka, mengingat tidak ada satu pun partai politik Islam di tubuh RI yang “terdengar” berniat mengubah RI menjadi republik yang berdasarkan Islam. Karena itu, sebodoh-bodohnya rakyat NII, ia tidak akan mungkin menukar kenyataan (NII) dengan suatu angan-angan (RI Islam), sepahit apa pun kenyataan itu. Sekarang tinggal kaum muslimin yang berwala di tubuh RI, apakah akan tetap hidup dengan cita-cita dan angan-angan kosong itu ataukah berjuang “mempercantik” realita NII yang kini dalam keadaan terjajah. Dalam Haloean Politik Islam bagian II. Tjita-tjita dan Kenjataan (Ideologi dan Realiteit), S. M. Kartosoewirjo sempat menyatakan: Poen sebaliknja, kita haroes poela bertjermin kepada pelbagai peristiwa, jang orang boleh demikian jakin kepada sesoeatoe ideologi, sehingga loepa kepada realiteit “tergila-gila kepada ideologi sendiri”, mabok kepada kebenaran sendiri, sehingga sering loepa – bahkan kadang-kadang tidak barang sedikit menaroeh perhatian atau penghargaan – kepada ideologi jang lainnja.

Anggaplah di tubuh RI itu memang ada orang yang betul-betul berniat menjadi “Yusuf”, sehingga harus dikatakan bahwa kini di wilayah yang sama (Indonesia), “Yusuf” dan “Musa” hadir dalam waktu yang bersamaan. Penulis meyakini bahwa sekiranya Yusuf as dan Musa as dulu (di masa bani Isroil) dihadirkan Alloh dalam waktu yang bersamaan, maka Yusuf as akan beriman kepada Musa as (QS. 3:81); ia akan berperan sebagai agen Musa as di tubuh pemerintahan Fir’aun, dan bertindak sebagai obstacle (penghambat) bagi gerakan pemusnahan yang dilancarkan Fir’aun terhadap Musa as; sebagaimana seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun: Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena ia menyatakan: ‘Tuhanku ialah Alloh’ padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Alloh tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (QS. 40:28). Karena itu, bagi rakyat NII, upaya Natsir (saat menjadi Perdana Menteri RI) memerangi TII menjadi tanda tanya besar; betulkah dia bercita-cita menjadikan RI sebagai republik yang berdasarkan Islam? Mengapa orang yang bercita-cita menjadikan RI sebagai republik yang berdasarkan Islam kok malah menghancurkan negara yang telah nyata-nyata berdiri di atas ajaran Islam? Sekiranya NII itu tidak ada, umat Islam bangsa Indonesia memang tidak punya pilihan lain selain mengupayakan negara RI menjadi republik Islam. Tetapi karena NII itu ada, maka apakah kita akan menolak negara Islam realita (NII) dan memilih negara Islam angan-angan (RI-Islam)? Penulis bukan hendak mengungkit-ungkit kesalahan di masa lalu, tetapi hendaknya apa yang telah terjadi itu dapat menjadi ibroh, jangan sampai kesalahan itu terulang lagi di masa sekarang; terutama karena mengingat pemerintah NII saat ini tengah mempersiapkan Idlharut Tandzim (Pendlohiran pemerintahan), yang tentunya sangat membutuhkan dukungan dari segenap lapisan bangsa Islam di tanah air ini.

Permasalahan ini hendaknya menjadi catatan tersendiri bagi kaum muslimin yang berwala kepada RI. Perlu dicatat bahwa pada masa Rosululloh saw pun ada kasus serupa. Ketika Rosululloh saw dan para sahabat hijrah ke Yatsrib, ada beberapa orang pemuda Islam yang merasa takut untuk pergi berhijrah, sehingga mereka tetap tinggal di Makkah. Akibatnya para pemuda ini ditangkap oleh militer Makkah dan dipenjarakan. Pada saat terjadi peperangan (di Badar) antara Makkah dan Madinah, mereka (para pemuda tadi) dibebaskan dan dipaksa untuk menjadi tentara Makkah. Akhirnya, mereka pun tidak punya pilihan lain kecuali turut bersama pasukan musyrik menggempur pasukan Islam. Diketahui, para pemuda ini akhirnya tewas dalam peperangan, terbunuh oleh tentara Islam (Madinah). Setelah berita ini sampai ke tangan Rosululloh saw, maka Alloh swt menurunkan ayat berikut ini: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali (QS. 4:97)

Sekali lagi, penulis ingin menegaskan bahwa orang yang menjadi “Yusuf” di zaman “Musa” sudah semestinya memerankan diri sebagai obstacle (penghambat) bagi gerakan pemusnahan yang dilakukan pemerintahan musyrik (RI) terhadap pemerintahan Islam (NII), dan bukannya ikut berpartisipasi menghancurkan “gerakan Musa” dengan dalih keamanan dan ketertiban. Toh Imam awal NII, S. M. Kartosoewirjo, pun menunjukkan niat baik dengan menyeru kepada pemerintah RI agar mengubah negaranya menjadi republik yang berdasarkan Islam , suatu seruan yang menunjukkan bahwa pada dasarnya NII ingin hidup berdampingan secara damai dengan RI-Islam.
Sebenarnya, baik Yusuf as ataupun Musa as, keduanya menempuh jalan hijrah. Sebagaimana diketahui, hijrah itu dilakukan semata-mata karena adanya fitnah dalam agama . Fitnah yang dialami Yusuf as berbeda dengan fitnah yang dialami Musa as. Yusuf as berhadapan dengan Darul Harb yang bersikap damai terhadap Darul Islam, sementara Musa as (dan pengikutnya) berhadapan dengan Darul Harb yang bersikap anti terhadap Darul Islam. Sehingga hijrah yang dilakukan Yusuf as sebatas hijrah dalam hal cita-cita (ideologi), sementara ia sendiri tetap bernaung di bawah pemerintahan jahiliah yang ada dengan suatu tekad untuk mengubahnya menjadi pemerintahan Islam. Sementara itu, hijrah yang dilakukan Musa as, di samping hijrah dalam hal cita-cita (ideologi), ia juga hijrah dalam kenyataan (realiteit), yakni meninggalkan pemerintahan yang berlandaskan kepada ideologi berhala itu. Barangkali inilah kiranya yang dimaksud dengan pernyataan bahwa hijrah itu bukan co dan bukan pula non-co . Sikap hijrah adalah sikap cerdas yang memerlukan keteguhan hati, keluwesan sikap, dan insting intelijen yang tinggi. Ia tidak harus selalu bermakna putus hubungan, tetapi lebih ditekankan pada hal berikut: kepada siapa kita setia dan untuk kepentingan siapa kita berbuat, ini lebih penting dari sekedar menyingkir belaka .

Baik Yusuf as ataupun Musa as, keduanya sama tujuannya, menegakkan kekholifahan Alloh di muka bumi, hanya saja yang satu tampak seolah-olah berpihak pada pemerintahan musyrik, sementara yang satu lagi secara terang-terangan menyatakan keberseberangannya. Penulis hanya meyakini bahwa orang yang mengawali jihadnya dengan “cara Yusuf”, bila ia tetap konsisten, maka mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, ia mesti menjadi “Musa”. Yang jelas, sikap penguasa terhadap “Yusuf” dengan sedikit pengikut akan berbeda dengan sikapnya terhadap “Yusuf” setelah memiliki banyak pengikut. Cobalah kita perhatikan bagaimana Soekarno telah berubah menjadi “Fir’aun” di kala melihat Masyumi mempunyai banyak pengikut. Tampaknya pepatah ini tetap berlaku untuk seorang “Yusuf”: “Tiada bayi yang lahir tanpa curahan darah, tiada Darul Islam ‘kan lahir tanpa darah syuhada”. ( Bersambung )